Oleh: Mochammad Fachrul Latanro, Wasekjend Internal PB HMI 2021-2023
Ketika Joko Widodo pertama kali terdengar namanya, ia muncul bak oase di padang gurun. Ia dianggap sebagai cahaya yang datang dalam kegelapan. Senior politisi Partai Golkar, Suhardiman bahkan menganggap Jokowi sebagai satrio piningit seperti ramalan Jayabaya. Pemimpin yang akan membawa Nusantara menuju masa keemasannya.
Kemunculan Joko Widodo sebagai brand baru perpolitikan pada tahun 2014 merupakan sebuah fenomena, Bagaimana tidak, ia tidak berasal dari elit-elit lama yang memang sudah punya kekuasaan, sederhana dan merakyat, gestur-nya mudah dipahami rakyat kecil, pemimpin yang lahir dari akar rumput.
Majalah Time memuat potretnya dalam sampul majalah Internasional tersebut dengan headline “Harapan baru”. Ia menjelma sebagai harapan. Kenangan akan Ratu Adil dalam sosok satrio piningit tertanam begitu dalam di sanubari masyarakat, terutama masyarakat Jawa.
“Relawan” bermunculan dengan sukarela mendukungnya, menceritakan sosoknya, berkampanye tentangnya. Dengan cepatnya kabar calon pemimpin “wong cilik” itu menyebar ke seluruh negeri, disetiap lapisan kalangan. Banyak orang yang sebelumnya rutin golput dalam pemilihan berbondong-bondong menuju TPS (Tempat Pemungutan Suara).
Namun kini harapan itu tengah goyah–kalau tidak tumbang–setelah kemenangannya pada pemilu 2019. Kekhawatiran akan penghianatan rakyat ini mulai terdengar saat pengesahan Undang-Undang Komisi Anti Korupsi (UU KPK), Omnibuslaw dan beberapa RUU yang dianggap bermasalah kemudian diikuti oleh gelombang besar-besaran di beberapa provinsi.
Aksi brutal polisi menghadapi demonstrasi hingga menimbulkan korban jiwa, penangkapan Jurnalis Dandy Laksono terkait isu Papua, juga Ananda Badudu yang mengorganisir bantuan “patungan” untuk demonstrasi juga turut menimbulkan kekhawatiran masyarakat atas menurunnya kebebasan berekspresi pada era Joko Widodo.
Yang terakhir adalah, menunjuk Probowo (lawan politik Jokowi) sebagai menteri pertahanan, susunan kabinet, serta komentar menterinya yang menuai kontroversi. Ini hanya sebagian kecil dari hal-hal yang melukai hati rakyat dan mengomunikasikan api harapan yang sempat bersinar.
Kenapa Begitu Mudah Berubah Ketika “Masuk” Dunia Politik?
Mungkin kita bertanya-tanya bagaimana mungkin seseorang yang begitu sederhana dan pemimpin “wong cilik” itu begitu mudahnya berubah hanya dalam lima tahun? Jokowi tentu saja bukan yang pertama, aktivis-aktivis 98 yang dulu gahar mengkritik pemerintah, setelah “masuk” dalam seolah-olah kekuasaan hilang suaranya. Masih teringat poster hingga spanduk yang mencari aktivis 98 saat aksi pemadatan September 2019 lalu. Siapapun ia, bagaimana pun pengetahuannya, seprogresif apapun pemikirannya, ketika masuk ke dalam “sistem”, semua idealisme itu hilang terserap dunia politik yang terkenal kotor.
Michael Ignatieff, melukiskan ini dalam bukunya Fire and Ashes: Success and Failure In politic. Ignatieff menulis “Dalam waktu satu tahun setelah memasuki dunia politik, saya mengalami perasaan disorientasi, diambil alih oleh seorang doppelganger. Pesona baru yang aneh yang hampir tidak dapat saya kenali ketika saya melihat diri saya di cermin, Saya tidak pernah berpakaian begitu baik dalam hidup saya dan tidak pernah merasa begitu hampa”.
Ignatieff mantan politisi, ia pernah menjabat sebagai pemimpin Partai Liberal Kanada. Ia juga merupakan pemimpin oposisi dalam pemerintahan Kanada dari tahun 2008 hingga 2011. Sebelum terjun ke dunia politik pada tahun 2006, Ignatieff adalah seorang penulis, sarjana dan Jurnalis. Dokumenternya berjudul Blood and Belonging: Journey’s into the New Nationalism yang ditayangkan oleh BBC meraih Canada Gemini Awards, Bukunya dengan judul yang sama memenangkan Gondor Mandatory Award sebagai buku Kanada terbaik yang membahas isu sosial. Novelnya yang berjudul Scar Tisuue menjadi shortlist dalam Booker Prize 1994. Sebagai seorang pengajar, Ia menempati posisi senior di beberapa universitas ternama seperti Cambridge, Oxford dan Harvard.
Dari rekam jejak tersebut, bisa dibilang Ignatieff memasuki gelanggang politik sebagai orang yang memiliki pengetahuan cukup tentang (teori) politik. Namun, kenyataan politik telah menghantam Ignatieff, pada pemilu umum 2011 Partai Liberal mengalami kekalahan, karena Ignatieff, yang lain karena faktor-faktor di luar kendalinya. Partai yang dipimpinnya kehilangan setengah kursi di parlemen termasuk kursinya sendiri.
Ignatieff sebenarnya hampir menjadi perdana menteri ketika partai kiri-tengah berusaha membangun koalisi untuk menjatuhkan pemerintahan konservatif yang baru saja terpilih dan menempatkan Ignatieff sebagai penggantinya. Namun Ignatieff menolaknya dengan keras, Ia ingin meraih kursi tertinggi itu dengan cara-cara yang benar, melalui mandat dari para pemilih. Hal yang tak pernah terjadi.
Politik praktis ternyata tidak memerlukan sebuah pengetahuan “ilmuan”, sebagaimana para ilmuan politik selalu “gagal” dalam praktik politiknya seperti Cicero, Machiavelli, Edmund Burke, dan lain-lain. Kemampuan beradaptasi, kelicikan, dan keberuntungan ternyata lebih ampuh dalam menguasai gelanggang politik.
Dunia ini adalah dunia yang penuh akan berkompromi, dan bagi orang yang “masuk” ke dalam dunia ini dengan tujuan (idealisme) tertentu, ini adalah tempat yang dapat menghancurkan jiwa dan meremukkan semangat, sebagaimana yang dialami Iganitieff, para aktivis 98, dan (mungkin) Joko Widodo.
Namun hal ini bukan untuk menyalahkan “sistem” ataupun membuat kita menjadi antipasti terhadap politik. Dunia dimana kemunafikan, setengah kebenaran dan senyuman palsu. Namun sebagaimana ungkapan Ignatieff “seseorang harus melakukannya”. Membawa kehidupan politik demokrasi ke jalan yang benar.