Malang – Menanggapi konflik antara suku Maluku vs Kupang (NTT) yang terjadi di kota Jogyakarta pada Senin, (4/6) jam 01.30 WIB hingga dini hari, Posko Indonesia Timur, Malang Raya melalui Pembinanya, Kadrian Muhlis menyampaikan kekecewaannya terhadap isu yang beredar didunia maya.
Menaggapi hal tersebut Kadrian sapaan akrabnya segera mengundang perwakilan ketua-ketua organisasi daerah yang berasal dari wilayah Indonesia Timur di Malang untuk mencapai kesepakatan damai bersama
Deklarasi damai tersebut berisi, diantaranya;
- Kami Posko Indonesia Timur Malang Raya tidak akan terhasut dengan kejadian yang berada di Jogjakarta yang mengakibatkan perang antara suku.
- Dengan tegas kami menghimbau saudara-saudara yang berasal dari wilayah Indonesia Timur yang berada di kota Malang tidak terprovokasi dengan kejadian di kota Jogjakarta
- Kami Posko Indonesia Timur Malang Raya menghimbau agar kita sama-sama menjaga kondusifitas Kota Malang dari konflik antar SUKU, RAS dan AGAMA
- Kami meminta agar kita semua Mahasiswa Indonesia Timur untuk menjaga KERUKUNAN, serta saling merawat PERSAUDARAAN.
Sebelumnya menurut keterangan saksi, kejadian berawal dari kesalah pahaman oknum yang kebetulan berasal dari Kupang, NTT enggan membayar tarif karaoke dan menghancurkan fasilitas yang ada, sontak salah satu oknum lain yang berasal dari Maluku bereaksi dengan menghakimi pria tersebut.
Konflik yang melibatkan antarsuku itu menunjukkan “belum adanya formula penyelesaian” saat perselisihan terjadi di provinsi yang memiliki sekitar 255 suku itu, ditambah lagi faktor kesejahteraan sosial yang masih minim.
Tindakan kekerasan hingga perang antarsuku kerap dilakukan sebagai bentuk penyelesaian masalah. Untuk itu perlu dilakukan pemberdayaan oleh pemerintah hingga ke tingkat kampung untuk membuka ruang resolusi konflik.
Mengapa konflik klasik antarsuku rawan terjadi?
Konflik di Jogja, yang disebut dipicu oleh kesalah pahaman membuka fakta bahwa belum ada wadah penyelesaian perselisihan antarsuku, ujar Kadrian.
“Pemberdayaan harus dilakukan dari tingkat provinsi, kabupaten/kota, hingga kampung yang jadi basis suku. Kepala kampung bertanggung jawab untuk mencegah hingga mengatasi konflik antarsuku,” imbuhnya.
Jika konflik terjadi, tambah Kadrian, ada sarana dialog antarkepala kampung untuk berkumpul dan menyelesaikan masalah.
“Ruang itu yang tidak ada, sehingga dalam mencari keadilan versi masing-masing suku, kekerasan menjadi pilihan dan rawan terjadi. Untuk itu perlu ada sarananya, representasi antarsuku, dan pemerintah hadir,” katanya.
Kadrian menjelaskan, setiap suku memiliki kesetaraan yang sama, walaupun mereka minoritas ataupun mayoritas, ditambah karakter kolektivitas dalam kehidupan.
“Kolektivitas itu yang menyebabkan mereka bisa digerakan dalam jumlah banyak, baik untuk menciptakan konflik, ataupun penyelesaian konflik,” ujarnya.
Faktor lain, konflik klasik ini, kata Kadrian, juga tidak bisa dilepaskan dari sifat primordialisme antarsuku yang bermutasi dari kekerasan fisik di masa lalu menjadi perebutan jabatan birokrasi, ekonomi dan lainnya.
“Sering kali, jika bupati dari suku A, sementara suku dominan B, muncul masalah, bupati dituding tidak memperhatikan suku lain. Lalu, jika suku A memimpin, mereka akan memprioritaskan, mengangkat birokrasi dari sukunya. Ini juga menjadi pemicu konflik,” ujarnnya.
“Harmonisasi gaya kepemimpinan sipil dengan adat berbasis suku ini belum ada formulanya sampai sekarang. Ini harus diselesaikan untuk menghindari kesenjangan, perselisihan, dan penyetaraan kesejahteraan,” pungkasnya.
Senada, Sesepuh Posko Indonesia Timur Malang Raya, Lucky Kakisina, berharap agar konflik serupa tidak lagi terjadi dan setiap suku bias menghargai satu sama lain.
“Konflik terjadi karena kurangnya pendekatan terhadap masyarakat, belum adanya nilai kebersamaan dan ruang dialog jika muncul masalah antarsuku,” ujar Lucky.
Selain itu, faktor lain yang menyebabkan konflik rawan terjadi adalah karena kurangnya kesejahteran sosial di sana. Untuk itu, Yanis meminta pemerintah untuk fokus membangun komunikasi antar suku dan juga kesejahteraan di sana. pungasnya. (bn/ra)