Peluncuran buku PBNU: Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama karya Yahya Cholil (Gus Yahya) di kantor PBNU, Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat, Rabu (11/3/2020).
Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:
Android:
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L
Jakarta – Terpilihnya KH Yahya Cholil Staquf sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2021-2026 dipandang sudah tepat. Pria yang akrab disapa Gus Yahya ini dianggap dapat memberikan penyegaran untuk NU di waktu mendatang.
“Gus Yahya sosok yang tepat untuk menahkodai NU ke depan karena secara keorganisasian NU butuh penyegaran dalam kepemimpinannya,” ujar Peneliti Paramadina Public Policy Institute Septa Dinata saat dihubungi, Minggu (26/12/2021).
Sebagai informasi, Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) yang berlangsung di Lampung pekan lalu, resmi menetapkan Gus Yahya sebagai ketua umum PBNU. Gus Yahya berhasil memperoleh 337 suara, mengalahkan pesaingnya calon petahana KH Said Aqil Siroj yang memperoleh 210 suara.
Septa menyatakan kepemimpinan NU dalam 10 terakhir terlihat stagnan dan bahkan cenderung terseret cukup jauh dalam dinamika politik praktis. Oleh sebab itu, menurutnya tidak ada alasan kuat untuk memperpanjang kepemimpinan tersebut.
Dia juga memandang Gus Yahya sebagai tokoh yang memiliki komitmen untuk menegaskan kembali agenda politik kebangsaan, bukan politik praktis. Namun demikian, Septa menuturkan tidak mudah bagi kepengurusan Gus Yahya kali ini mengingat diperlukan independensi untuk mewujudkan komitmen tersebut.
NU disebut akan mengalami kesulitan jika memiliki ketergantungan yang cukup tinggi terhadap pendanaan yang bersumber dari politik. Hal tersebut menjadi pekerjaan rumah penting yang mesti diselesaikan secara bertahap oleh kepemimpinan Gus Yahya.
“Beberapa tahun ke depan politik kita akan kembali panas karena ada banyak momentum seperti pemilu legislatif dan eksekutif. Pasti akan banyak upaya untuk menyeret NU untuk kepentingan tersebut,” kata Septa.